Seakan tidak ingin melihat si penanya mendengar jawabannya kebingungan lantaran di mana pagi itu harus menunggu, pria tersebut segera memberikan alternatif lain.
Dia buru-buru keluar dari posnya menuju pinggir jalan yang pagi itu langitnya masih tertutup awan hitam setelah hampir sepekan penuh diguyur hujan.
Dengan menunjuk perempatan besar dari tempatnya berdiri, dia memberikan isyarat belok kanan-kiri, lalu lurus.
Antara mencoba mengikuti petunjuk pria itu. Satu, dua, hingga tiga perempatan sudah dilalui, namun lokasi yang dituju tak jua tampak.
Setelah hampir 2 kilometer berjalan kaki, seorang remaja datang menghampiri dengan memberikan saran menumpang taksi karena lokasi yang dituju ternyata harus melalui beberapa perempatan lagi sebelum belok ke kiri untuk menemukan Jalan Guangta.
Taksi berhenti tepat saat argometer menunjuk angka 10 RMB (sekitar Rp20.000). Tapi pintu gerbang bangunan tua berwarna merah bata masih belum terbuka.
"Masih terlalu pagi. Tunggu saja di situ," ucap sopir taksi sambil menunjuk kursi kayu di depan pintu gerbang.
Suasana di depan bangunan kuno itu kontras dengan di sekitarnya, khususnya sebelah barat dan utara perempatan Guangta.
Trotoar yang basah bekas guyuran hujan semalam tak menyurutkan semangat para pedagang menggelar barang-barang antik dan kuno, mulai dari perkakas, perhiasan, buku, hingga jaket dari kulit harimau asli.
Hiruk-pikuk tawar-menawar antara pembeli dan penjual atas benda yang sebenarnya sudah tidak ada pasarannya lagi untuk masa sekarang memecah keheningan pagi itu.
Seorang pria tua tak pedulikan suasana itu dan tetap mengayuh sepeda hingga tibalah di depan pintu gerbang.
"Anda mau ke mana?" tanya pria itu begitu turun dari sepeda pancalnya.
Setelah memahami maksud kedatangan, barulah pria tua yang memperkenalkan diri dengan nama Ismail itu bersedia membukakan pintu dan mengajaknya masuk bersama.
Ikon Jalur Sutera
Guangta yang artinya menara merupakan nama lain dari Masjid Huaisheng. Di sisi selatan kompleks masjid yang dibangun lebih dari 1.300 tahun yang lalu itu terdapat menara setinggi 36,3 meter.
Masjid tersebut dibangun oleh Saad bin Abi Waqqash, sahabat sekaligus paman Rasulullah SAW, di tepi Sungai Mutiara pada masa Dinasti Tang.
Oleh karena adanya menara yang dulu berfungsi untuk menyuarakan azan sekaligus rambu-rambu bagi para pelaut yang hendak memasuki alur Sungai Mutiara, maka Guangta diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Ibu Kota Provinsi Guangdong itu.
Sabtu (8/7) pagi itu tidak seramai sehari sebelumnya saat umat Islam berkumpul untuk melaksanakan shalat Jumu'ah.
Sejumlah restoran dan hotel yang menyediakan makanan halal di sepanjang Jalan Guangta masih tutup, kecuali hanya penjual daging sapi dan kambing bersertifikat syar'i yang sudah melayani pembeli.
Meskipun hampir mirip suasana "kauman" (lingkungan sekitar masjid di Pulau Jawa), tidak semua penduduk di sekitarnya muslim. Setidaknya bisa dilihat dari model rumah dan cara mereka berpakaian.
Pagi itu hanya ada satu orang yang keluar dari masjid yang sebagian dindingnya berwarna putih. Kelihatannya dia baru saja selesai menjalani shalat sunnah dluha di bangunan yang konon merupakan masjid pertama yang didirikan di luar jazirah Arab itu.
"Sudah setengah delapan," sergah Ismail ketika Antara sedang mengamati prasasti beraksara Arab dan Mandarin kuno di sebelah barat bangunan utama masjid.
Ia tidak bermaksud mengusir. Namun, mengingatkan Antara yang berencana kembali lagi ke Jalan Jiefangbei.
Pukul 08.10, namun pintu gerbang warna hijau di Jalan Jiefangbei tidak kunjung dibuka. "Saya juga tidak tahu (jam berapa bukanya)," ujar Ma Wen Long, yang terlihat resah gelisah menunggu di samping pintu gerbang.
Tiba-tiba datang seorang pria bersepeda. Setelah memperkenalkan diri, dia mengizinkan Antara dan Ma memasuki pintu gerbang yang baru dibukanya itu.
"Sebenarnya belum jam kunjungan. Tapi tidak apalah, kalian masuk saja," ujar pria berkemeja lengan panjang dengan celana selutut sambil menuntut sepeda pancalnya.
"Saya dari Gansu, 28 jam perjalanan ke sini," kata Ma begitu dipersilakan memasuki kompleks Masjid Xianxian.
Kompleks Masjid Xianxian di Jalan Jiefangbei ini jauh lebih luas dibandingkan dengan kompleks Masjid Guangta.
Di kompleks itulah terdapat makam Saad bin Abi Waqqash. Menurut manuskrip kuno Muslim China, pertama kali Saad menginjakkan kakinya di daratan Tiongkok, ya di Guangzhou itu, pada tahun 620 Masehi untuk tujuan berdagang.
Kemudian Saad kembali lagi ke China atas perintah khalifah Utsman bin Affan pada 650 Masehi dan oleh Dinasti Tang diterimanya sebagai duta besar.
Makam yang berjarak sekitar 2.151 kilometer sebelah selatan Ibu Kota China di Beijing tersebut, tidak pernah sepi dari peziarah yang memang mayoritas umat Islam Tiongkok beretnis Hui.
"Saya diutus ayah untuk berada di sini selama beberapa hari," kata Ma yang beretnis Hui dan ayah serta keluarga besarnya tokoh muslim di Provinsi Gansu.
Di dalam bangunan makam yang cukup untuk menampung 20 orang tersebut, Ma tampak menghafal beberapa surat Al Quran. Namun, dia merendah saat dirinya disebut hafiz.
Dua pasang suami-istri duduk bersimpuh di samping pusara yang berselimutkan permadani warna biru tua dan pada ujung nisan terlilit kain imamah warna putih berlumuran bercak darah. Tidak jelas, apakah itu bercak darah asli atau bukan karena memang tidak ada satu pun yang bisa memberikan keterangan.
Tak lama kemudian sekelompok peziarah memasuki bangunan makam yang dinding luarnya didominasi warna hijau bearsitektur Tingkok klasik yang diperkirakan model bangunan masa Dinasti Tang.
Sementara di Masjid Xianxian yang berjarak sekitar 150 meter dari makam Saad, empat orang pria dan empat orang perempuan bersimpuh di gelaran karpet merah. Mereka terlebih dulu ke makam sebelum shalat sunnah dua rakaat di bangunan berdinding warna merah yang diberi nama Masjid Abi Waqqash itu.
Mereka sama-sama bermarga Ma, marga mayoritas bagi muslim etnis Hui. "Saya baru sekali ke sini," kata Ma Gui Li yang datang dari Lanzhou bersama lima orang lainnya.
Selain umat Islam, makam Saad bin Abi Waqqash yang lokasinya mudah dijangkau karena dekat dengan stasiun "subway" Yuexiu dengan menumpang kereta bawah tanah Line 2 dan dekat dengan halte bus Yuexiu Park itu juga banyak dikunjungi wisatawan.
"Bahkan saya lihat ada beberapa warga Indonesia yang menziarahi makam itu," kata Wakil Kepala Kantor Kebudayaan, Radio, dan Televisi Pemerintah Kota Guangzhou, Ou Caiqun, saat ditemui di kompleks museum Nanyue, Selasa (3/7).
Oleh karena dianggap sebagai salah satu situs bersejarah dan salah satu ikon Jalur Sutera Maritim, Pemkot Guangzhou memberikan lahan untuk perluasan makam Saad bin Abi Waqqash yang persis berada di sebelah barat Yuexiu Park tersebut.
Bahkan Masjid Xianxian atau Masjid Abi Waqqash yang mampu menampung 10.000 orang itu juga renovasinya mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah kota setempat.
"Itulah bentuk perhatian kami terhadap umat Islam di sini karena kami juga berkewajiban melestarikan bangunan-bangunan bersejarah," tutur pejabat pemerintahan yang menganut ateisme itu mengenai salah satu cagar budaya dunia di China yang berdiri di atas lahan seluas 25.000 meter persegi.(*)
Video oleh: M. Irfan Ilmie