"Ini kehormatan tersendiri. Saya akan manfaatkan membangun jejaring antara Banyuwangi dan publik global, terutama Jepang," ujar Anas dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa.
Pada forum "Japan International Cooperation Agency" (JICA) dan "The National Graduate Institute for Policy Studies" (GRIPS) itu, katanya, Anas memaparkan berbagai program yang berhasil dikembangkan dalam mengakselerasi pembangunan di daerah non-kota besar seperti Banyuwangi.
Di forum itu, dia adalah satu-satunya pembicara dari Indonesia. Pembicara lain adalah pemimpin daerah dari Filipina, Jepang, Thailand, dan Vietnam.
Anas melanjutkan, JICA dan GRIPS mengundang Banyuwangi karena menilai kabupaten itu mampu melakukan percepatan pelayanan dan pembangunan daerah, meski sebelumnya mempunyai banyak tantangan, terutama keterbatasan SDM dan infrastruktur. Tantangan yang dihadapi Banyuwangi berbeda dengan kota besar yang sudah jauh lebih mapan sebelumnya.
"Kami punya banyak keterbatasan, tapi tidak boleh pasrah. Pokoknya harus gerak, melakukan hal-hal yang bisa dilakukan. Mulai pelayanan publik, tata kelola desa, pertanian, pariwisata, dan sebagainya. Sehingga Banyuwangi terus berkembang saat ini, tentu harus diakui masih banyak kekurangan," kata bupati berusia 43 tahun itu.
Di Tokyo, secara khusus dia memaparkan inovasi penguatan desa. Misalnya, program Kampung Cerdas yang mendorong pelayanan desa berbasis teknologi informasi (TI). Sebagai kabupaten terluas di Pulau Jawa, jarak desa dan pusat kota di Banyuwangi sangat jauh dengan waktu tempuh bisa mencapai tiga jam.
Karena itu, warga yang membutuhkan dokumen harus menuju ke kantor kecamatan atau pusat kota yang lokasinya cukup jauh, sehingga tidak efisien.
"Dengan Smart Kampung, secara bertahap administrasi cukup diselesaikan di desa. Tapi tentu butuh TI karena yang berjalan adalah datanya, bukan orangnya. Saat ini sebagian desa sudah menerapkan Smart Kampung, termasuk yang jauh dari pusat kota. Sudah sekitar 60 desa teraliri fiber optic, kami targetkan 145 desa tersambung fiber optic pertengahan 2018," ujar Anas.
Untuk menjawab tantangan pengelolaan keuangan desa yang mendapatkan dana besar dari APBN dan APBD, Banyuwangi mengembangkan e-village budgeting dan e-monitoring system. Perencanaan hingga pelaporan di tingkat desa terintegrasi dalam sebuah sistem.
"Misalnya monitoring, setiap proyek terpantau di sistem lengkap dengan titik koordinatnya. Tinggal diklik, keluar gambar proyeknya dari 0 sampai 100 persen. Jadi bisa meminimalisasi proyek ganda, sekaligus memberi rasa aman kepada perangkat desa mengingat tanggung jawabnya semakin besar karena dana yang mengalir ke desa juga terus bertambah," kata Anas.
Untuk mempercepat pelayanan di tingkat desa, Anas telah mendelegasikan kewenangannya ke desa, misalnya pembenahan rumah tidak layak huni.
"Dulu itu harus bupati yang tandatangani suratnya, sehingga rentangnya panjang. Sekarang cukup di tingkat desa," ujarnya.
Anas menambahkan, forum di Jepang itu juga bagian dari penjajakan Jepang untuk mengetahui lebih dalam tentang berbagai potensi kemitraan yang bisa dijalin dengan berbagai daerah di Asia.
"Jepang selama ini lebih banyak membantu Indonesia soal pembangunan infrastruktur. Nah, mereka ingin mulai membantu penguatan birokrasi. Forum ini digunakan untuk menjajaki itu. Tentu ini kesempatan bagi Banyuwangi jika Jepang bersedia membantu program pengembangan di daerah kami," ujaar Anas.(*)