Kedua orang tuanya, Poniran (45) dan Suprapti (35), sampai saat ini masih hilang dan belum ditemukan.
Diduga keduanya telah tewas. Terkubur timbunan material longsor yang meluluhlantakkan permukiman subur "loh jinawi" di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur pada Sabtu (1/4).
Pun halnya dengan 22 korban lain yang masih hilang terkubur, atau empat yang sudah ditemukan dalam sepekan operasi pencarian yang dilakukan sejak Minggu (2/4) hingga akhirnya pencarian korban dihentikan pada pekan kedua April (9/4).
Brian, si bocah pemalu itu merupakan satu dari sekian warga Banaran yang menjadi saksi hidup bagaimana bencana longsor yang mirip kiamat kecil itu tiba-tiba menimbun puluhan rumah di desanya.
Masih terbayang jelas bagaimana orang-orang berteriak histeris sembari berlarian menyelamatkan diri. Ledakan beruntun disertai gemuruh terdengar memekak telinga, mengurung tangis histeris penduduk desa.
Brian yang saat itu di sekolah dan kemudian dipulangkan oleh bapak-ibu guru, bergegas mengendarai sepeda motornya yang biasa digunakan menuju sekolah.
Dia pacu motor jenis matic itu menuju rumah pamannya Miswanto di Desa Bekiring, tak jauh dari kampung kelahirannya itu.
Dalam upayanya menyelamatkan diri mengikuti naluri dan warga lain, Brian terus menangis hingga sesampainya di rumah sang paman di Desa Bekiring.
"Brian menangis dan menyebut nama bapak-ibunya yang saat itu belum dia ketahui keberadaannya," tutur Miswanto.
"Longsor. Mak e pak e kenek (Longsor, bapak dan ibu terkena bencana)," sambung Miswanto menirukan rengek Brian yang semakin histeris.
Setelah tiga hari pascakejadian, Brian yang masih murung, menangis dan terus menanyakan keadaan bapak dan emaknya mulai berontak.
Kepada Miswanto, Brian memaksa untuk pergi ke lokasi longsor. Sejak itu, hampir saban hari Brian selalu terlihat berdiri menunggu dari puncak timbunan longsor yang sudah mengeras, demi melihat deru mesin alat berat jenis eskavator dan tim SAR gabungan melakukan pencarian korban.
Ia terus saja memperhatikan, tanpa suara sambil berharap kedua orang tuanya segera ditemukan, di bawah reruntuhan tebing (bukit) Gunung Gede setinggi 200-an meter. Ia tak pedulikan orang-orang di sekitarnya saat itu, kecuali Miswanto yang setia menemani.
Sayang, hingga operasi pencarian dihentikan pada hari ke delapan, atau hari ke sembilan pasca kejadian longsor besar, hanya empat korban yang berhasil ditemukan. Mereka adalah Katemi (70), Iwan Danang Suwandi (27), Sunadi (47) dan Sumaryono (25).
Tiga korban yang disebut pertama ditemukan di lokasi pencarian sektor C yang ada di bagian bawah, sementara satu korban yang ditemukan terakhir di sektor A, beberapa jam sebelum akhirnya operasi pencarian oleh tim SAR gabungan dihentikan akibat longsor susulan.
Besarnya volume longsor yang menimbun 32 rumah, 28 warga dan aneka ternak serta aneka harta benda membuat upaya evakuasi tidak mudah.
Sekalipun dikerahkan sembilan unit alat berat (dan terakhir bertambah menjadi 11 unit) dan bantuan 1.500 relawan dari berbagai lintasdaerah yang bergabung bersama tim SAR terpadu.
Pergerakan material lumpur jenuh dalam volume sangat besar mulai dari sektor A dan bergerak hingga sektor D telah memaksa SAR gabungan yang bertekad menemukan 24 korban tersisa akhirnya bergeming.
Pada Minggu (9/4) sore sekitar pukul 16.00 WIB, Bupati Ponoorgo Ipong Muchlissoni mengumumkan keputusan tim SAR gabungan untuk menghentikan seluruh operasi pencarian. Keputusan sulit itu diambil demi menghindarkan jatuhnya korban lagi, baik dari pihak tim SAR, relawan, maupun warga.
Warga memaklumi. Brian pun, meski bocah usia 10 tahun ini tidak terlalu memahami situasi yang jadi kendala dan pertimbangan tim SAR dan relawan, bisa tabah.
Bertahap, ia berangsur ceria lagi. Menurut Kapolsek Pulung AKP Deny Fachrudianto, Brian telah kembali masuk sekolah, bergabung dengan teman-temannya yang lain di kelas darurat yang diselenggarakan SDN Banaran bersama jaringan relawan.
Ya, Brian sudah mulai ceria lagi. Ia sudah bisa bersenda-gurau lagi bersama teman-teman sekolahnya, meski sesekali masih terlihat diam menyendiri. Brian memang anak pemalu, kata Miswanto pamannya.
Duka Brian, adalah secuil duka-duka yang dialami 11 anak yatim lain ditinggal "pergi" orang tua mereka yang menjadi korban longsor di Desa Banaran, Sabtu (1/4).
Duka Brian bersama puluhan, atau bahkan ratusan jiwa warga Banaran itu, adalah duka Bumi Reog. Duka menganga yang menyentak rasa empati seantero warga dari berbagai penjuru.
Dan, empati itu setidaknya tercermin dari bantuan yang terus mengalir hingga saat ini, baik dalam bentuk uang, barang, hingga tenaga serta doa-doa yang terus mengalir untuk para korban yang terpendam longsoran di bumi Banaran, Ponorogo. (*)
Video oleh: Zabur Karuru