Surabaya (Antara Jatim) - Pameran Wayang Potehi bertajuk “Potehi Reborn” di Art Gallery House of Sampoerna Surabaya, mulai 20 Januari – 25 Februari, berupaya mendekatkan kepada masyarakat bahwa kesenian ini telah menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Pameran itu mempertontonkan beragam karakter wayang potehi dari berbagai kisah legenda yang diadopsi dari cerita rakyat China koleksi Yayasan Fu He An, asal Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Manager Museum dan Marketing House of Sampoerna Rani Anggraini di Surabaya, Kamis mengatakan pameran ini sekaligus merupakan bentuk dukungan rencana pendirian Museum Wayang Potehi oleh Yayasan Fu He An di Jombang.
Menurut dia, yayasan yang menaungi Klenteng Hong San Ki Ong, yang juga berlokasi di Gudo, Jombang ,itu saat ini sedang dalam proses membangun Museum Wayang Potehi.
"Sebagai sesama museum, kita harus dukung pembentukan permuseuman di Indonesia sebagai destinasi wisata pendidikan.Kebetulan Museum Wayang Potehi sedang dibangun di Jombang, ini kita harapkan ke depan dapat menambah kedatangan wisatawan ke Jawa Timur," ujarnya.
Karenanya, memanfaatkan momen tahun baru Imlek, Art Gallery Museum House of Sampoerna memamerkan wayang potehi yang diambilkan dari wayang-wayang koleksi Yayasan Fu He An, Gudo, Jombang.
"Kita berharap pameran ini dapat mengenalkan wayang potehi ke masyarakat, khususnya kepada generasi muda, agar tidak menganggapnya lagi sebagai kebudayaan asing," ujarnya.
Rani meyakinkan bahwa wayang potehi telah menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. "Seperti kesenian wayang-wayang yang lain, potehi punya fungsi pembelajaran filosofi kehidupan," ucapnya .
Karena salah satu fungsi penting itulah Art Gallery Museum House of Sampoerna turut mendukung Yayasan Fu He An melestarikan wayang potehi yang saat ini sedang dalam proses membangun Museum Wayang Potehi di Jombang.
Museum Potehi
Ketua Yayasan Fu He An Toni Harsono mengatakan pembangunan museum potehi saat ini sudah menyelesaikan fondasi dan tembok di sekelilingnya.
"Tinggal bangunan utamanya yang kira-kira akan selesai sekitar 2 tahun mendatang," katanya.
Museum itu nantinya akan memamerkan ratusan wayang potehi berusia 100 tahun lebih, peninggalan kakeknya.
Museum itu nantinya akan memamerkan ratusan wayang potehi berusia 100 tahun lebih, peninggalan kakeknya.
Toni berencana museum yang menjadi bagian dari bangunan Klenteng Hong San Ki Ong itu tak hanya menjadi pusat pameran dan pertunjukan wayang potehi saja.
"Kita harap bisa menjadi pusat kesenian, seperti karawitan dan pembacaan mocopat nantinya bisa digelar di museum ini," katanya.
Purwanto, dalang wayang potehi di bawah Yayasan Fu He An, mengungkapkan, kesenian asal negeri China ini telah melalui perjalanan panjang untuk bisa bertahan di Indonesia.
Lelaki berdarah Jawa berusia 52 tahun ini menekuni kesenian wayang potehi dengan menjadi asisten dalang di tahun 1980. Dia menjadi dalang utama wayang potehi di tahun 1990.
Namun saat itu rezim Orde Baru melarang pertunjukan wayang potehi di Indonesia, membuat Purwanto dan para kru dalangnya menjadi lontang-lantung tanpa pekerjaan yang pasti.
Kru dalang potehi yang terpaksa mencari pekerjaan lain akibat kebijakan ekstrim Orde Baru pada waktu itu terdiri dari dalang utama, asisten dalang, dan tiga orang pemain musik.
Persembahan Dewa
"Presiden Gus Dur di tahun 2000 memperbolehkan wayang potehi tampil kembali. Saya senang sekali dan sejak itu kami aktif kembali menggelar pertunjukan dari satu klenteng ke klenteng lainnya di berbagai kota," ujar Purwanto.
Meski, Purwanto mengisahkan, untuk mengumpulkan para krunya butuh waktu, karena selama vakum telah menekuni pekerjaan barunya untuk menghidupi keluarganya.
Purwanto harus meyakinkan kepada para krunya itu agar mau kembali menekuni wayang potehi, bahwa pemerintah baru di era Reformasi telah menjamin pelestarian kesenian wayang potehi.
Selama ini, Purwanto mengatakan, peralatan wayangnya harus menyewa dari sebuah klenteng yang memiliki perangkat wayang potehi. Purwanto tetap bertahan di kesenian ini meski biaya sewanya sudah tidak sebanding lagi dengan pendapatannya.
"Sewanya Rp50 ribu per hari. Tapi sudah tidak sebanding dengan pendapatannya," ujar pria asal Ngoro, Jombang, ini.
Purwanto menggambarkan, di era 1980-an dulu pendapatannya dari sekali pentas sebesar Rp23 ribu, yang dibagi dengan 5 orang kru. "Pendapatan segitu dulu cukup dibuat beli 1 gram emas. Kalau pendapatan yang sekarang sudah gak cukup buat beli emas," katanya.
Beberapa tahun yang lalu Purwanto bergabung dengan Yayasan Fu He An di bawah pimpinan Toni Harsono. "Sebab Pak Toni menggratiskan uang sewa perangkat wayang potehi," tuturnya. Diakui Toni pertunjukan wayang potehi sudah jarang digemari seperti era tahun 1980-an.
Dia mencontohkan, di Klenteng Hong San Ki Ong, yang rutin menggelar pertunjukan wayang potehi selama tiga bulan berturut-turut setiap bulan kedua dan delapan penanggalan Imlek, penontonnya tidak lebih dari 30 orang.
Menurutnya, satu hal yang membuat wayang potehi tetap bertahan adalah karena adanya keyakinan bahwa pertunjukan kesenian ini dipertontonkan untuk persembahan para dewa.
"Kalau gak ada keyakinan itu, wayang potehi sudah punah dari dulu," katanya. Keyakinan itu pula yang membuat Toni berupaya terus melestarikannya dengan membuat Museum Wayang Potehi di Jombang, yang saat ini sedang dalam proses pembangunan. (*)
Video oleh : Hanif N