Surabaya, (Antara Jatim) - Provinsi Jawa Timur pernah menjadi sorotan nasional di bidang
perekonomian, khususnya pada Triwulan II/2016 karena pertumbuhannya
mampu melebihi nasional dengan mencatatkan angka 5,62 persen, sedangkan
nasional hanya tumbuh 5,18 persen "year on year" (yoy).
Prestasi tersebut menurut beberapa pengamat ekonomi merupakan
capaian maksimal, sebab gejolak ekonomi yang terjadi secara global
imbasnya hampir mengenai seluruh daerah di Indoensia yang rata-rata
hanya mencatatkan pertumbuhan 5 persen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur,
pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II/2016 didominasi tiga lapangan usaha
utama, yakni pengolahan, perdagangan besar-eceran, reparasi
mobil-sepeda, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Pertumbuhan ekonomi Jatim saat itu juga tercatat lebih besar
dibanding tahun 2015 periode yang sama yang hanya mampu tumbuh sebesar
5,23 persen.
Sedangkan untuk Triwulan III/2016, pertumbuhan ekonomi Jatim
menurun 0,01 persen, dan mencatatkan angka sebesar 5,61 persen yang
diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga
berlaku yang mencapai Rp480,04 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan mencapai Rp362,48 triliun.
Pertumbuhan itu, menurut data BPS tetap didominasi tiga lapangan
usaha utama, yaitu industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 28,51
persen. Pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar 14,10 persen, dan
perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil sepeda motor sebesar 18,10
persen.
Menurut Gubernur Jatim Soekarwo, stabilnya ekonomi Jatim pada 2016
karena murni karekter warga Jatim yang pekerja keras, terbuka, serta
memiliki rasionalitas yang baik. Ditambah komunikasi yang baik antara
masyarakat dengan pemerintah, sehingga mempunyai andil besar dalam
menjaga stabilitas ekonomi serta politk.
Gubernur yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini juga menyebut secara
ekstrem, bahwa orang Jatim meski tanpa adanya pemerintahan pun
ekonominya akan mampu tumbuh 4 persen, karena watak dasarnya itu
(pekerja keras), sehingga hanya perlu dorongan sedikit untuk bisa naik
di atas level 4 persen.
Oleh karena itu, Pakde optimistis dengan modal watak dan faktor
internal ditambah eksternal seperti konsumsi stabil, investasi, rasa
aman, dan nyaman pertumbuhan ekonomi di Jatim pada 2017 akan mencapai
5,6- 5,7 persen.
Bahkan, Kepala Divisi Advisory Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia
(BI) Perwakilan Jawa Timur Taufik Saleh memprediksi perekonomian Jatim
bisa tumbuh lebih tinggi lagi mencapai 6,1 persen, asalkan transfer
pemerintah pusat ke wilayah Jatim lancar tanpa adanya kendala, seperti
beberapa program pembangunan dan infrastruktur jalan.
Selain itu, kata Taufik, penyerapan produk Jatim oleh tiga negara
yang menjadi rekan kerja Jatim seperti Jepang, Amerika, dan Tiongkok,
volumenya bertambah, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tantangan 2017
Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya Lutfi
mengatakan untuk tantangan ekonomi di wilayah Jatim pada 2017 ada pada
sektor pertanian, karena minimnya perbankan dalam memberikan kredit di
sektor tersebut.
Menurut Lutfi, rendahnya kredit di sektor pertanian mengancam
keberlangsungan beberapa petani dan proses bertani di wilayah setempat,
sebab kontribusi sektor pertanian pada PDRB saat ini masih kecil, yakni
sekitar 13 persen.
"Apabila ini tidak didorong, tahun 2017 akan semakin turun. Bahkan,
sejumlah bank sudah tidak mau memberikan kredit pada sektor tersebut,"
kata Lutfi yang ditemui dalam seminar ekonomi di Surabaya, pekan lalu.
Lutfi yang juga menjadi staf ahli ekonomi di beberapa bank di Jatim
itu menduga, takutnya perbankan dalam menggenjot kredit di sektor
pertanian karena trauma yang terjadi pada 2014, yakni keberadaan kredit
macetnya (NPL) mencapai 8 persen.
Selain itu, ditambah lahan pertanian di wilayah Jatim yang
mengalami mutasi lahan sekitar 1.100 hektare per tahun, akibat gencarnya
pembangunan perumahan.
"NPL pada sektor pertanian memang pernah melambung hingga 8 persen
pada tahun 2014. Hal itu yang membuat perbankan seolah trauma untuk
menyalurkan kredit ke sektor itu," katanya.
Untuk itu, Lutfi memberikan solusi agar perbankan menggenjot
penyaluran kredit ke sektor pertanian dengan mengalihkan kredit pada
produk olahan hasil pertanian, sehingga kinerja pertanian bisa ikut naik
dan memberikan kontibusi PDRB lebih tinggi.
"Jadi, jangan hanya fokus ke pertaniannya saja. Dengan bagusnya
industri olahan, maka kinerja pertanian otomatis ikut terkerek naik,"
katanya.
Ia juga meminta agar Bank Indonesia (BI) melibatkan Bank UMKM yang
ada di beberapa pelosok desa untuk mendukung penyaluran kredit
pertanian, sehingga peranan penyaluran tidak hanya fokus pada perbankan
besar.
"Sektor pertanian ini menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan
ekonomi Jatim pada 2017, padahal sebagian besar lahan di wilayah Jatim
adalah lahan pertanian. Oleh karena itu, perlu dorongan berupa kebijakan
melakukan upaya perbaikan pada bidang pertanian," katanya.
Direktur Operasional PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank
Jatim), Rudie Hadiono dikonfirmasi terpisah mengaku sangat mendukung
kebijakan pengucuran tersebut agar sektor pertanian dibenahi sistem
olahannya, sehingga lebih menjanjikan penyaluran kredit pada sektor
pertanian tersebut.
"Dengan fokus pada sistem olahan yang baik, perbankan tak akan ragu
memberikan pinjaman atau kredit. Oleh karena itu kami akan tunggu
sektor pertanian Jatim berbenah," katanya.(*)
Optimistis dan Tantangan Ekonomi Jatim 2017
Kamis, 29 Desember 2016 18:46 WIB
Pakdhe optimistis dengan modal watak dan faktor internal ditambah eksternal seperti konsumsi stabil, investasi, rasa aman, dan nyaman pertumbuhan ekonomi di Jatim pada 2017 akan mencapai 5,6- 5,7 persen