Tulungagung (Antara Jatim) - Sejumlah mantan eksponen PKI di Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur
mengaku sudah bisa membaur sepenuhnya dengan masyarakat, berkat
kebijakan rehabilitasi dan rekonsiliasi yang dikeluarkan pemerintah
semasa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Kami aktif bersosialisasi. Animo masyarakat di lingkungan kami
juga baik meski terkadang masih ada yang berpikiran `miring` (tentang
kami)," kata Said Suryoatmojo (76), mantan aktivis Lekra, salah satu
organisasi sayap PKI di Desa Ngaglik, Kecamatan Srengat, Kabupaten
Blitar, Selasa.
Tidak hanya membaur bersama masyarakat sekitar, Said mengaku aktif
dalam menggerakkan masyarakat di desanya untuk melakukan berbagai
kegiatan pembangunan.
Salah satu yang ia banggakan adalah keberhasilannya menggerakkan
dana swadaya masyarakat untuk membangun jembatan desa yang nilainya ia
klaim mencapai Rp1,5 miliar.
Said mengaku, pintu rehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah
dirintis mantan Presiden Gus Dur semasa memerintah telah menginspirasi
dirinya maupun para mantan anggota maupun simpatisan PKI lain yang
sebelumnya merasa terkucilkan semasa orde baru, untuk mengabdikan pada
bangsa dan negara melalui pembangunan serta penguatan wawasan
kebangsaan.
"Gus Dur telah mengajarkan kami untuk bangkit dari sejarah kelam di
masa lalu. Kini kami hanya ingin mengabdikan sisa hidup kami untuk
bangsa dan negara, melalui cara yang kami bisa," ujarnya.
Senada mantan aktivis Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Blitar,
yang juga organ sayap PKI saat itu, Pitoyo (70) mengaku interaksinya
dengan masyarakat selama ini tidak banyak mengalami kendala.
Ia bahkan bisa melakukan rutinitas pekerjaan warisan keluarga di
jasa pemotongan dan perdagangan daging sapi tanpa ada kendala interaksi
dari lingkungan sekitar.
Kalaupun masih ada kesan negatif, kata Pitoyo, hal itu bisa mereka
maklumi karena proses penyadaran masyarakat terkait semangat
rekonsiliasi butuh waktu untuk berproses.
"Kami tidak ingin berpolemik dengan sejarah masa lalu, termasuk
pro-kontra soal wacana perlu-tidaknya pemerintah menyampaikan permintaan
maaf pada eks-tapol (tahanan politik) maupun keluarga PKI (yang menjadi
korban pembantaian) pasca-gestapu. Sekarang kami hanya ingin hidup
damai dan menjalani sisa umur untuk mengabdi pada masyarakat," ujarnya.
Sayang, tokoh eks-Tapol asal Desa Recobarong, Kecamatan Ngunut,
Tulungagung, Moedjani Karto Soedarmo (82) tidak berhasil dikonfirmasi
Antara karena kondisi sakit.
Saat ditemui di rumahnya di Desa Recobarong, Kecamatan Ngunut,
mantan pemuda pemikir yang sempat tergabung dalam Persatuan Sarjana
Indonesia dan kemudian menjadi Ketua Cabang PKI di Tulungagung pada era
1060-an itu, hanya tergolek lemah di dalam kamar karena menderita
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Istrinya, Hartik Moedjani (78), saat berbincang dengan Antara
mengatakan keluarganya tak akan pernah menuntut permintaan maaf dari
pemerintah.
Menurutnya, dan juga kerap disampaikan oleh suaminya Moedjani yang
di era Pemerintahan Presiden Soekarno pernah menjabat sebagai asisten
Menteri Pertambangan di Kalimantan, rasa terima kasih pada Gus Dur
menjadi ungkapan yang berulang kali harus mereka ucapkan karena kini tak
lagi harus menjalani wajib lapor ke TNI, melalui Koramil setempat.
"Kami tidak akan mengiba untuk mendapat permintaan maaf. Biarlah
semua berjalan apa adanya, sejarah membuat kami belajar banyak. Kini
meski hanya sebagi partisan kami memilih dengan benar pemimpin kami dan
syukur semua yang saya perjuangkan dapat dipercaya, seperti halnya
Bupati Tulungagung dan Presiden Jokowi yang ikut kami dukung bersama
kawan-kawan yang lain," tuturnya.(*)
Mantan Eskponen PKI Terinspirasi Kebijakan Rehabilitasi GusDur
Jumat, 2 Oktober 2015 16:05 WIB
"Kami tidak ingin berpolemik dengan sejarah masa lalu, termasuk pro-kontra soal wacana perlu-tidaknya pemerintah menyampaikan permintaan maaf pada eks-tapol (tahanan politik) maupun keluarga PKI (yang menjadi korban pembantaian) pasca gestapu. Sekarang kami hanya ingin hidup damai dan menjalani sisa umur untuk mengabdi pada masyarakat," ujarnya.