Probolinggo (Antara Jatim) - Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Disperta) Kabupaten Probolinggo Mahbub Zunaidi mengatakan mata rantai pemasaran bawang merah sampai saat ini masih bermasalah karena masih terdapat 7 hingga 8 rantai pasokan.
"Dalam jual beli bawang merah bisa terdapat 7-8 rantai pasokan yang seharusnya bisa dipersempit menjadi tiga yaitu antara petani, pelaku pasar, serta konsumen, sehingga flasi atau pengurangan jumlah timbangan semakin tinggi dan berakibat pada lemahnya harga di tingkat petani," katanya di Probolinggo, Jumat.
Ia mengatakan, selama ini rantai pemasaran bawang merah yaitu petani memanen, penebas, pengepul, pembeli, pedagang antar pulau kemudian sampai ke konsumen, sehingga penyebab adanya rantai pemasaran yang terlalu panjang mengakibatkan harga bawang merah terkadang mengalami naik turun.
"Selain rantai pemasaran yang bermasalah, kesepakatan antara petani dengan pedagang juga menjadi permasalahan yang belum bisa terpecahkan karena adanya flasi yang diakui sudah sejak lama ada dalam jual beli bawang merah yang dikenakan besaran 10 persen hingga 15 persen dengan rantai pemasaran," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan adanya flasi merupakan etika perdagangan yang sudah terbentuk antara kedua pihak, sehingga pemerintah tidak bisa secara tegas melarang karena sebelumnya sudah ada kesepakatan antara petani dan pedagang.
"Adanya flasi ini memang sebenarnya menghindari kerugian dari kerusakan kondisi bawang merah, jika pedagang membeli bawang merah makan dikenakan flasi 10 persen hingga 15 persen atau tambahan beberapa kilogram untuk menghindari adanya kondisi bawang merah yang busuk, memiliki kadar air yang banyak, serta umur bawang merah yang dibawah 60 hari sehingga menyebabkan bawang merah cepat keropos," katanya.
Ia mencontohkan, apabila pedagang membeli bawang merah ke petani sebanyak 1 kuintal dengan kesepakatan flasi 10 persen atau setara dengan 10 kilogram, maka timbangan bawang merah menjadi 110 kilogram.
"Penyebab adanya flasi inilah yang mengakibatkan petani semakin terpuruk karena muncul permasalahan flasi atau kotoran dari bawang merah yang dipotong 30 persen, sehingga menyebabkan harga di tingkat petani jatuh," ungkapnya.
Menurutnya, luas tanam bawang merah di Kabupaten Probolinggo tersebar di sembilan kecamatan yaitu di Kecamatan Pajarakan, Kraksaan, Gending, Dringu, Tegalsiwalan, Leces, Banyuanyar, Krejengan, dan sumberasih sebesar 7.115 hektare dengan total produktivitas minimal sebanyak 710 ribu ton per tahun.
"Penanaman bawang merah pada musim kemarau (MK1) bisa menghaslkan 10 hingga 12 ton per hektare, sedangkan untuk MK2 yang terjadi pada tiga bulan lagi bisa menghasilkan 15 hingga 18 ton per hektare karena terbantu dengan adanya angin gending yang mengakibatkan hama penyakit akan hilang tersapu oleh angin," jelasnya.
Ia berharap nominal flasi yang sering memberatkan petani tersebut bisa diturunkan kurang dari 10 persen serta pihaknya akan memfasilitasi tawar menawar tersebut seperti adanya MOU agar harga bawang merah bisa tetap stabil.
"Disperta kewenangannya memang sampai panen saja, selebihnya mengenai harga dan pemasaran seharusnya ranah dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, namun kami tidak keberatan untuk ikut serta mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu kami juga aktif berkoordinasi dengan Bulog agar harga bawang merah tetap stabil, sehingga tidak ada impor bawang merah," tandasnya. (*)
Disperta Probolinggo: Pemasaran Bawang Merah Masih Bermasalah
Jumat, 26 Juni 2015 16:02 WIB
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Disperta) Kabupaten Probolinggo mengatakan rantai pemasaran bawang merah sampai saat ini masih bermasalah karena masih terdapat 7 hingga 8 rantai pasokan.